•
•
•
Ini bukan awal sebuah cerita, bukan juga akhir misterius yang masih menggantung. Aku hanya bingung, kenapa hidupku seakan berubah semenjak memasuki SMA. Bahkan sebelum memasuki sekolah ini.
Dan disinilah aku sekarang, siswa kelas 1 di Sekolah Kejuruan Sano. Kejuruan ? Sano ? Jangan berpikir kalau aku sedang bercanda.
Aku terpaksa memasuki tempat yang tidak pantas disebut sekolah ini. Tou-san ku berhenti bekerja, dan keadaan ekonomi benar-benar menurun. Jadi aku harus berjuang sendirian, belajar dalam satu ruangan dengan hanya diriku yang menimba ilmu diantara 35 murid lainnya.
Oh, jangan heran. Karena manusia-manusia itu tidak berniat seperti ingin bersekolah. Jangankan untuk memperhatikan ceramah guru, membawa buku pelajaran saja tidak. Coba saja kau bongkar isi tas salah satu siswa disini. Isinya hanya handphone, earphone, charger, satu buku kecil dan sisanya kosmetik, itu kalau perempuan. Lebih parah isi tas murid laki-laki disini, isinya hampir sama, minus kosmetik, yang membedakan adalah― benda tajam dan beberapa puntung rokok. Dan jangan kalian pikir itu rokok biasa.
Well, itu belum seberapa. Yang membuatku heran adalah sekolah ini identik dengan kata “tawuran”, dan ayahku tetap memasukanku disini. Kaa-san tidak tahu, tapi Tou-san sudah tau sejak awal. Tapi mereka percaya aku bukan anak yang seperti itu. Meraih beasiswa disini bukan hal sulit. Jadi mau tidak mau aku harus tetap berjuang, sendirian.
Tapi aku tidak begitu kesepian berkat media sosial. Aku punya banyak teman, meski semua hanya virtual. Namun ada satu orang yang berbeda. Usia kami sama namun dia sudah bekerja, sambil kuliah. Luar biasa kan ? Padahal kami seumuran, tapi ada yang lebih hebat dariku. Itulah kenapa aku tidak pernah menganggap diriku pintar. Karena pepatah mengatakan “Diatas langit masih ada awan, bintang, dan lain-lain”
Aku tersenyum melihat notifikasi chat darinya.
Kakashi : Kau sudah pulang ? Jam berapa ini ? Jangan bilang kau membolos.
Heh, dasar.
Me : Lihat dirimu, lebih baik kau selesaikan ribuan arsip yang berserakan didepan wajahmu itu.
Kakashi : Ini masih jam istirahat, anak kecil.
Aku tertawa geli membaca dua kata terakhir darinya. Padahal umur kami sama.
Me : Yare yare, anak kecil yang sok dewasa.
Kakashi : Aku hanya ingin memastikan untuk sore ini, kau tidak lupa kan ?
Me : Jangan meremehkanku. Pukul 5, Cafe de Flore Antique.
Jujur, aku memang pelupa tingkat tinggi, tapi aku tak mungkin melupakan janjiku untuk bertemu dengannya. Ini pertama kalinya, jadi aku tak ingin mengecewakan.
Dari awal tak ada satupun dari kami yang menanyakan marga. Yah, aku tidak terlalu peduli, dia menyenangkan. Andai Raidou ada disini, pasti kami bertiga akan menjadi teman akrab. Sayangnya kini dia pindah ke Kyoto.
Aku tak heran kenapa diumur yang sama Kakashi sudah bekerja. Itu melawan hukum. Tapi beda hal nya kalau itu perusahaan milik ayahnya sendiri. Dia benar-benar hebat. Usia 13 tahun dia sudah berkuliah, bahkan memulai karir.
Dia tidak manja, dia bisa melakukan semuanya sendiri. Dan hal yang paling ku kagumi darinya, dia baik.
Aku ingin seperti dirinya.
Awan putih, yang rasanya terlalu sulit kuraih.
“Maaf membuatmu menunggu.”
Aku mengalihkan atensiku pada si sumber suara. Rambut keperakan dengan wajah tertutup masker.
“Hm. Duduklah, biar kupesankan minuman.”
“Tidak usah, biar aku saja. Kau juga belum memesan kan ?”
“A―” Baru aku ingin menghentikannya tapi dia sudah terlanjur jalan. Aku belum memesan karena aku ingin menunggunya dulu.
Tak lama dia kembali.
“Ini” Dia meletakan segelas Affogato didepanku. Bagaimana dia tahu ?
Aku menautkan alis melihat pesanan miliknya “Espresso huh ?”
Dia menyeringai.
Ck, aku dapat melihat dengan jelas dari balik masker.
Dia menopang dagunya dengan sebelah tangan, menatapku intens dengan seringai yang sama.
Agak salah tingkah diperhatikan seperti itu, namun aku suka.
“Kakashi, ada satu hal yang ingin kutanyakan.”
“Tanyakanlah” Dia menurunkan masker lalu menyesap kopi pahit itu, kemudian menaikan maskernya kembali.
Aku memang tidak peduli, tapi, dia mengingatkanku pada seseorang. “Kau― Hatake ?”
Kena. Dia melirik tajam kearahku. “Bagaimana kau tahu ?”
“Aku murid Sakumo-sensei, kau tahu” Kini aku yang menyeringai.
Kakashi menghela napas, kemudian melepas maskernya.
Dia .. tampan. Sungguh aku tidak berbohong.
“Jadi kau ‘Genma’ yang suka dibicarakan Ayahku dulu ? Menyebalkan.”
Mataku mengerjap tak mengerti.
“Yah, kau murid kesayangannya. Kau jenius, tapi sering dihukum. Typical.”
“Oh ayolah ..” aku menyuap sesendok affogato ku. “Mau bagaimana lagi ?”
“Menyebalkan, benar-benar menyebalkan.”
Kami pun tertawa bersama.
Banyak yang kami ceritakan, dan sesuai dugaanku, dia luar biasa. Kakashi tidak banyak bicara, namun setiap kata yang ia ucapkan memiliki makna tersendiri.
Bola matanya hitam keabuan, begitu indah berpadu dengan surai peraknya. Dan ketika ia tertawa, untuk pertama kalinya aku merasa ada yang memperhatikanku. Dia berbeda, dia ..
awan putih yang terlampau layak menghias langit.
“Sudah pukul 07.00, besok kau harus sekolah kan ?”
Tapi aku masih ingin bersamamu.
“Ah benar, kau juga harus bekerja besok.”
Tidak, tidak, dia punya urusannya sendiri. Aku tidak boleh mengusiknya.
Kami berdiri, bersiap meninggalkan cafe.
“Genma .. Aku suka rambutmu, tapi ..” Aku memicingkan mata ketika tangan-tangan indahnya membuka kembali tasnya dan mencari sesuatu.
“Kau akan sangat cocok dengan ini”
Aku tersentak. Kakashi mengeluarkan sebuah topi dan memakaikannya dikepalaku. “Ini―”
“Untukmu” Dan dia tersenyum. “Aku duluan, jaa~”
Langkah kakinya mulai menjauh bersama senyum terakhir yang kuingat. Sangat menawan.
Aku pun tersenyum, topi hitam dengan bordiran kecil huruf ‘H’ putih disamping kirinya.
Dan hey, kenapa aku sesenang ini ?
.
.
Seorang anak remaja berambut perak memasuki rumahnya. Tubuhnya lelah, tapi itu tak seberapa dibanding rasa bahagianya hari ini.
“Baru pulang ?”
Sang anak terkejut mendengar suara yang tak asing lagi baginya.
“Pulang cepat huh, Tou-san ?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku Kakashi. Kau habis dari mana ?”
Anak yang dipanggil “Kakashi” itu mendudukan diri di sofa lalu bersandar sambil memejamkan mata. Sang ayah tahu, anak semata wayangnya itu tidak memiliki teman. Kalaupun ada yang mengajaknya, tidak akan sampai lewat dari jam 06.00 malam.
“Bertemu dengan murid kesayanganmu”
Sakumo terbelalak, tapi ia ingin memastikan. “Maksudmu .. Genma ?”
“Ya. Aku menyukainya”
.
.
.
.
.
TBC
Comments (1)
See all